Keprimadani.com] Perobohan Hotel Purajaya oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) atas perintah Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 21 Juni 2023 menguak kembali persoalan klasik namun tak kunjung usai: konflik penguasaan lahan di Pulau Batam. Pemilik lahan, PT Dani Tasha Lestari (DTL), tak tinggal diam. Mereka menyebut tindakan itu sebagai pembongkaran ilegal yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
Tak hanya melaporkan kejadian ini ke aparat penegak hukum, PT DTL juga menggiring kasus ini hingga ke Komisi VI DPR RI dan kini menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada dugaan kuat praktik mafia tanah dan penyalahgunaan kewenangan dalam pencabutan alokasi lahan dan proses perobohan yang dilakukan secara paksa.
Pangkal Masalah: Sengketa Lahan yang Tidak Pernah Selesai
Batam sejak lama dikenal sebagai daerah rawan konflik lahan. Status tanah yang dikendalikan oleh BP Batam bukan oleh pemerintah daerah seperti di wilayah lain membuat pengelolaan lahan di pulau ini sarat kepentingan dan rawan disalahgunakan.
Dalam kasus Hotel Purajaya, BP Batam mencabut alokasi lahan seluas 20 hektar milik PT DTL. Alasannya: tidak adanya pembangunan yang signifikan serta ketidakhadiran rencana bisnis. PT DTL membantah tuduhan ini dan menyebut telah membangun sejumlah fasilitas seperti powerhouse, taman bermain, dan telah melakukan pematangan lahan.
Pihak DTL juga mengklaim memiliki hak prioritas, yaitu hak utama untuk tetap mengelola lahan sesuai ketentuan BP Batam selama tidak ada pelanggaran berat. Namun, hak ini diabaikan begitu saja. Belum selesai persoalan hukum, tiba-tiba datang perintah pembongkaran.
Perobohan di Tengah Sengketa: Prosedur Dipertanyakan
Surat perintah pengosongan lahan dari BP Batam dikirim pada 21 Juni 2023, dan di hari yang sama, hotel diratakan dengan tanah. Eksekusi dilakukan oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP), dikawal satuan gabungan yang melibatkan Satpol PP, Kepolisian, dan TNI.
Prosedur hukum seperti peringatan resmi, proses mediasi, atau penetapan pengadilan tidak terlihat. Padahal, pemilik lahan sudah menyatakan secara terbuka bahwa mereka menolak pengosongan dan sedang menempuh jalur hukum.
“Ini tindakan semena-mena. Hak kami diabaikan, lahan kami dirampas, dan aset kami dihancurkan tanpa putusan pengadilan. Ini bukan negara hukum kalau tindakan seperti ini dibiarkan,” kata kuasa hukum PT DTL dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Aroma Mafia Tanah dan Tekanan Politik
Kasus ini langsung menyita perhatian publik setelah anggota Komisi VI DPR RI turun tangan. Beberapa wakil rakyat menyebut perobohan ini sebagai bagian dari praktik mafia tanah, di mana oknum di lembaga negara bekerja sama dengan pihak swasta untuk merebut lahan yang masih dalam status sengketa.
“Ada indikasi kuat bahwa ini bukan sekadar pencabutan lahan biasa. Ada permainan di balik layar. Kami mendesak KPK dan aparat penegak hukum menelusuri siapa yang bermain di balik proyek ini,” ujar seorang anggota DPR RI dalam rapat dengar pendapat di Senayan.
KPK Turun Tangan: Penyelidikan Dugaan Korupsi Dimulai
KPK telah menyatakan sedang mendalami laporan masyarakat terkait dugaan adanya praktik korupsi dalam pencabutan alokasi lahan dan perobohan Hotel Purajaya. Fokus penyelidikan adalah apakah ada pelanggaran prosedural, penyalahgunaan kewenangan, atau kolusi antara pejabat BP Batam dengan pihak swasta.
Hingga kini, belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, sejumlah saksi disebut telah dipanggil untuk dimintai keterangan.
BP Batam Bungkam atau Membela Diri?
Dalam beberapa pernyataan resmi, BP Batam menyatakan tindakan pencabutan lahan dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku, yaitu karena tidak ada aktivitas pembangunan dan tidak ada kelengkapan rencana bisnis dari pemilik.
Namun, hingga kini BP Batam belum menunjukkan dokumen valid yang membuktikan telah melalui mekanisme peringatan, mediasi, atau keputusan pengadilan sebelum perintah perobohan dijalankan.
Apa Selanjutnya?
Kasus Hotel Purajaya bisa menjadi titik balik dalam penataan ulang pengelolaan lahan di Batam. Keterlibatan KPK membuka harapan agar praktek mafia tanah bisa diusut tuntas. Namun, perjuangan pemilik lahan, PT DTL, juga menjadi pengingat bahwa di balik pembangunan dan investasi, ada warga dan pelaku usaha yang bisa menjadi korban jika hukum dan prosedur tidak dijunjung tinggi.
Pertanyaannya kini: Apakah hukum akan berpihak pada keadilan? Atau Hotel Purajaya hanya akan menjadi catatan kelam berikutnya dalam daftar panjang sengketa lahan di Batam?